Skip to main content

Membaca, Menyimak dan Menonton Indonesia

Blog ini dibuat disamping blog lain yang saya punya untuk menyalurkan tulisan yang lebih umum dan tidak pribadi. Diselimuti semangat nasionalisme yang menggebu-gebu, dinamakanlah blog ini Hiduplah Indonesia Raya. Saya bukan penulis yang produktif maupun blogger yang disiplin. Makanya kenyataan bahwa hingga saat ini perkembangan postingan masih seperti jalan keong, terseok-seok tidak ada perkembangan, sudah dalam antisipasi. Harus diakui, semangat saja tidak cukup untuk menghasilkan sesuatu. Disiplin dan kerja keras sangat penting untuk dapat membuahkan karya. Itulah yang saya punya tapi tidak cukup banyak.

Lucunya, blog tanpa postingan tetap ini terus saja didatangi pembaca. Perkembangan pembaca tidak wah memang, cuma berkisar di angka ratusan. Akan tetapi tetap saja ada yang nyasar ke blog ini. Melihat sumber pembaca yang melihat blog ini membuat saya sadar, ternyata yang melihat-lihat ke sini sebenarnya tidak di dasari oleh isi blog, akan tetapi karena jasa mesin pencari. Malu juga jadinya, mengingat banyak yang ke sini tidak menemukan apa-apa. Oleh karenanya, saya merasa perlu minta maaf, kalau rasa ingin tahu anda (yang di sokong terutama oleh penggunaan kata kunci Indonesia), berbuah sia-sia, walau pada dasarnya saya yakin bahwa permintaan maaf itu sama sekali tidak ada gunanya. Sentimen saja yang membuat saya merasa demikian. 

Dengan harapan agar sentimen ini tidak berhenti sebagai sentimen dan tulisan saja, saya akan mencoba untuk menulis lebih sering di blog ini. Janji ini tidak sebenar-benarnya janji, hanya sekadar pengingat saja. Saya yang merasa kenal diri saya merasa di lain waktu belum tentu saya merasa perlu menulis di sini dan memenuhi janji demikian.  

Sebagai bunga rampai, (tambahan yang tak perlu, wewangian yang sebenarnya tidak penting), makanya postingan ini saya beri judul "Membaca, Menyimak dan Menonton Indonesia". Judul yang bombastis memang. Seolah-olah saya akan mengupas semua tentang Indonesia dalam tulisan ini. Tapi pada kenyataannya tulisan ini tidaklah demikian. Judul itu diinspirasi, atau boleh juga dicontek dari judul acara baca puisi yang oleh tiga penyair, Sitok Srengenge, KH Mustafa Bisri dan Timur Sinar Suprabana yang disponsori Rumah Budaya Gubug Penceng, PMLP UNIKA (saya tidak tau apa, dan juga tidak merasa perlu mencari tau), serta Pro TV. Saya menemukan video-video acara ini di Youtube saat mencoba menemukan pembacaan puisi Indonesia. Total ada lima video di youtube, ketikkan saja Membaca Indonesia di google, lihat di bagian video, anda akan menemukannya. (Saya tidak akan meletakkan linknya di posstingan ini, karena ini hanya bunga rampai-nya) 

Dari ketiga penyair, Sitok menarik perhatian saya dengan ungkapan-ungkapan bernas dan dalam (setidaknya menurut selera saya). Timur dengan keangkuhan kedai kopi dan puisi penyair metromini tampil penuh berita dan cerita bahwa dia marah. Mustafa, seperti namanya bercerita ringan, tertawa dan mengajak menitikkan air mata. Kombinasi yang klop, kopi, susu dan gula. Kalau anda ingin menyaksikannya, saya sarankan nikati kopi dan gula terlebih dahulu, baru masukkan susu kedalam campurannya. Tambahkan susu berulang-ulang, nikmati suasana yang dibawa sitok terakhir. Resapi mistisme puitis yang tidak banyak dimiliki penyair indonesia.

Sebelum sampai pada lima video itu, saya mulai membuka youtube dengan mencoba mencari Rendra dan Sutardji. Rendra membawa saya pada film Yang Muda Yang Bercinta (1977), dibintangi Rendra dan Yanti Octavia. Filem ini disutradarai Syuman Djaya. Filem ini katanya dilarang Orde Baru. Mungkin karena puisi Sebatang Lisong, saya hanya menduga-duga.  "Melihat Indonesia Rraya; Mendengar 130 juta rakyat, dan dilangit 2,3 cukong mengangkang, berak diatas kepala mereka", tentu saja filem ini dilaran demi ketertiban umum. 
Secara sinematografi filem ini tidak terlalu bagus. Yang paling menjatuhkan penilaian saya adalah suara yang penuh noise dan seperti dubbingan ulang sinetron laga sampah yang ada saat ini. Permainan karakter Rendra sebagai Sonny sebagai mahasiswa terlihat terlalu tua dan perperan seolah diatas panggung teater. Pembacaan puisi yang seharusnya jadi alasan Syuman memilihnya pun tidak memukau, kaku dan tidak meninggalkan kesan keindahan si burung merak. Terlepas dari itu semua, secara cerita saya merasakan kesan eksistensialis. Tidak aneh memang mengingat nuansa pemikiran pada saat itu memang kental dengan pengaruh Camus atau Sartre. Hal positif yang menonjol menurut pendapat saya adalah dari segi pemakaian suara latar. Saya menemukan permainan suara yang saya identikkan dengan Syuman Djaya. Musik latar filem ini mengingatkan pada 7 Samurai-nya Kurosawa, atau Roshomon, terutama pada pemakaian bunyi tabuhan drum yang kuat dalam pergeseran scene yang sepi. Kesimpulannya filem ini patut di lihat dalam sejarah perkembangan ide, walau dalam seni perfileman seperti video amatir. 

Pencarian pada video Sutardji di youtube menghasilkan kekecewaan. Pembacaan yang bagus adalah koleksi  Festival Internacional de Poesía de Medellín dan satu lagi milik canel x studio. Video-video lain mengecewakan. Dalam penilaian saya, melihat pembacaan puisi oleh Sutardji belakangan saya merasa seperti melihat orang tua yang telah digiling waktu. Yang tertinggal hanyalah sisa kegagahan masa muda dan ego karena merasa tua mengingat pencapaian masa muda. Hasilnya penampilan sok nyentrik dan permainan harmonika fales, ekspresi berlebihan, seolah anak sekolah menengah yang ingin tampil nyeni. Sebenarnya tidak betul juga saya mengomentari seperti ini karena pilihan ekspresi adalah hak pribadi. Tapi seni adalah kejujuran, dan apresiasi saya untuk seni hanya untuk kedalaman pemikiran dan perenungan.

Sampai di titik ini, rasanya bunga rampai telah memenuhi tulisan ini secarra berlebihan. Tapi apa mau dikata, bunga rampai tidak lengkap tanpa melati. Sebagai taburan melati untuk menutup tulisan ini saya merasa perlu mengutip sebait sajak dari blog Bonadei saya di sebelah. Bait ini apresiasi saya pada Sutarji, idola yang bukunya saya bawa kemana-mana.    

     "Tergolek di bibir perahu, tak sebuku jari ikut perintahku... 
      menggigil tanpa seijinku, tubuhku menamparku...
     dilengkung horison, sedih menatapku, tersenyum gundah, napasku lemah
     ingin ku tampar mukaku, tubuhku kaku...
     Manolin, Manolin.... "

Semoga ada manolin yang menjawab panggilanmu Santiago "tarji Calzoum Bahri".




NB: saya menuliskan tulisan di blog ini dalam Bahasa Indonesa dan Bahasa Inggris. Tulisan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia adalah tulisan yang saya merasa sreg untuk menuliskannya dalam Bahasa Indonesia, dan demikian pula yang Berbahasa Inggris. Tidak ada tema tertentu yang membedakan mereka, hanya sekedar preferensi sesaat saya saat memulai memijit keyboard.   

Comments

Popular posts from this blog

La Belle Dame sans Merci, John Keats

 O what can ail thee, knight-at-arms,                      Apa yang kan mengganggumu Kesatria Bersenjata Alone and palely loitering?                                         Sendiri dan pucat iseng berdiri The sedge has withered from the lake,                Ibus mengering jauh dari danau And no birds sing.                                              Dan tiada burung beryanyi O what can ail thee, knight-at-arms,                     Apa yang kan mengganggumu Kesatria So haggard and so woe-begone?                          begitu gagah dan tenggelam dalam duka The squirrel’s granary is full,                               Lubang tupai telah penuh And the harvest’s done.                                              dan masa panen berakhir I see a lily on thy brow,                                              Ku lihat lily di alismu With anguish moist a

sentuh

  Dari suluruh indra sentuhan adalah hal yang paling tidak terdokumentasi, tapi paling dekat ke jiwa. Mungkinkah dimikian otak manusia bekerja? Suara dan gambar yang bisa direkam masih bisa diindahkan datangnya, mata dan telinga nyata memodelkan memory akan hadirnya dalam ingatan. Indera yang tidak terekam dalam alat, terekam lebih kuat. Aroma kental menguasai suasana hati, paling gampang membayangkan suatu ketika dengan aroma, demikian pula rasa. Tapi yang paling tidak tertahankan karena begitu nyata rasanya adalah sentuhan. Ketika ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja, ku bilang, “time will heal”.Delapan bulan berlalu, ketika rinduku makin memuncak, lukanya makin meruyak, jiwaku makin rapuh. Pelan-pelan memang ku mulai terbiasa menjalani hidup sendiri, tapi ketika hal-hal yang mengingatkan akan diri kekasih yang telah pergi, perihnya makin menjadi. Rindu makin tidak tertahankan. Ketika sepi sendiri, dalam imajinasi tidak lagi terdengar suara, tidak terbayan

Stop Being A Manager

  Modern world has made too much manager and just too few leader.  To excel, organizations need leaders more than manager. The most obvious difference between leader an manager is that managers run what they were told to while a leader run the organization and set what is it to be done to the organization. The most important rule for leader is that he take the burden and the blame for he designated the objective to the organization. I am sick of managers and long for the transformation and understanding of the talents to be a leader. Leader do not shat Pada suatu kesempatan di bulan Mei 2013, Waka Polri mengatakan bahwa setiap tahun 300 sampai 500 anggota polri dipecat karena melanggar kode etik sehingga tidak pantas jadi polisi. Pada bulan Desember 2012, Dirjen Bea Cukai mengatakan 7 pegawainya dipecat dan 22 orang turun pangkat .  Pada Bulan April 2012, Kabid Penindakan dan Penyidikan Kanwil Bea Cukai Jakarta, Hatta Wardhana  mengatakan kalau ada pegawai menerima suap a