Skip to main content

Selamat Jalan yazid, February 15, 2021

 dari yazidkhair.com

Pagi ini persis satu tahun ummi mengejutkan kami. Tiga ratus enam puluh enam hari yang lalu, jam seperti sekarang, ketika di mesjid diputar suara orang mengaji, raung kami berserakan memecah sunyi. Tidak perlu diulang ceritanya, ingatan saja masih sangat perihnya, lukanya masih ternganga.

Terlalu tenggelam dalam kehilangan, tiada sempat kami melepas dan menyampaikan selamat jalan secara pantas, padahal kematian itu sakral dan pasti dan setelah terjadi tiada tertantang lagi. Terlalu sibuk menggaruk duka, tiada sempat ku ucapkan kata perpisahan, masyuk mencumbu bayang tiada, angan dirimu tiada terlepaskan. Masih saja kami gila mengakali menggayung dan menambal bah kesedihan yang buncah. Setelah setahun pun belum terakali caranya. Tapi pagi ini mengingat waktu yang telah bergulir, sudah sepantasnya kami duduk dengan pikiran jernih, dan hidup sepantasnya hidup.

Menarik napas dalam, menyelami sejuk pandang-mu dalam kenangan, barulah kini dapat ku ucapkan, “selamat jalan Cinta, kami terima kehilanganmu sebagai keniscayaan”. Jalan kehidupan memang berliku, bagaimana kita ada di sini pun adalah misteri. Sadar eksistensi terbentuk dalam proses panjang, menjadi nyata dengan komunikasi dan entah hilang entah mengabadi dengan mati. Bagi yang hidup kenangan terus menjulang, tetap menopang, tetap menjadi kekuatan. Tiada penyesalan lagi, harusnya, karena kau telah meninggalkan cinta tiada terbilang.

Comments

Popular posts from this blog

Camellia

Camelia 3  Ebiet G. Ade Di sini,  di batu ini a kan kutuliskan lagi n amaku dan namamu. Maafkan bila waktu itu d engan tuliskan nama kita k uanggap engkau berlebihan. Sekarang setelah kaupergi kurasakan makna tulisanmu. Meski samar tapi jelas tegas Engkau hendak tinggalkan kenangan dan kenangan. Disini kaupetikkan kembang, k emudian engkau selipkan p ada tali gitarku, m aafkan bila waktu itu k ucabut dan kubuang, k aupungut lagi dan kaubersihkan. E ngkau berlari sambil menangis. K audekap erat kembang itu.  Sekarang baru aku mengerti t ernyata kembangmu kembang terakhir, y ang terakhir. Oh Camelia, katakanlah ini satu mimpiku. Oh oh oh oh oh C amelia, maafkanlah segala silap dan salahku Disini, dikamar ini, y ang ada hanya gambarmu, k usimpan dekat dengan tidurku d an mimpiku Hidup memiliki nada dan liriknya sendiri. Irama yang paling ternikmati adalah musik yang nada dan suasananya paling dekat dengan nada dan lirik kehidupan.  Sepanjang penghidupan sampai pada titi...

sentuh

  Dari suluruh indra sentuhan adalah hal yang paling tidak terdokumentasi, tapi paling dekat ke jiwa. Mungkinkah dimikian otak manusia bekerja? Suara dan gambar yang bisa direkam masih bisa diindahkan datangnya, mata dan telinga nyata memodelkan memory akan hadirnya dalam ingatan. Indera yang tidak terekam dalam alat, terekam lebih kuat. Aroma kental menguasai suasana hati, paling gampang membayangkan suatu ketika dengan aroma, demikian pula rasa. Tapi yang paling tidak tertahankan karena begitu nyata rasanya adalah sentuhan. Ketika ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja, ku bilang, “time will heal”.Delapan bulan berlalu, ketika rinduku makin memuncak, lukanya makin meruyak, jiwaku makin rapuh. Pelan-pelan memang ku mulai terbiasa menjalani hidup sendiri, tapi ketika hal-hal yang mengingatkan akan diri kekasih yang telah pergi, perihnya makin menjadi. Rindu makin tidak tertahankan. Ketika sepi sendiri, dalam imajinasi tidak lagi terdengar suara, tidak terb...

GOLPUT, A Note On Citizenship Decision, Not to Vote

In his  Side Note article (Catatan Pinggir) in Tempo Magazine March 31st, 2014, Goenawan Moehammad made an euphemism for those who do not vote (golput) as Bartleby. He took it from Herman Merville, Bartleby the Scrivener. He made an opening premise for his note that those who do not vote, as those who refuse but do not really refuse. Taking the story to make his point further, GM explore the absurdity of refusing but not really refuse by taking his opinion and comments on the story. Reading the whole article, in my opinion, Goenawan is trying to make a phylosophical discourse on absurdity of being the white group (golput). I do not mind of his discourse and even partly agree with his discussion that Bartleby is complicated. However, I do not agree with his early concluding premise that refusing by not refusing is golput. Golput is not always, "I would like to but I prefer not to". For me it is I refuse to because it is not what how I want it to be. The distinction is immin...