Diselingi iringan Nusantara 1. dari Koes Plus, diantarkan dari perenungan akan sebuah pameo lama yang tadi ditulis seorang teman di status Facebooknya, "kalau ingin kaya jangan jadi PNS", kemarahan yang telah ditahan-tahan akhirnya pecah juga. Jadi miskin kok bangga... apa mau sok qanaah... Bullshit!!!
Konsep bahwa kalau ingin kaya jangan jadi pegawai negeri inilah yang membuat negara ini salah urus. Ini jugalah yang membuat korupsi meraja lela. Hal ini pula yang membuat negara berpihak pada orang kaya. Inilah yang membuat orang-orang pintar yang masuk pemerintahan adi tolol, orang baik jadi brengsek. orang alim pun jadi koruptor. Alasannya? Jiwanya telah diamputasi dan
"There is nothing like a sight of amputated spirit, there is no prosthetic for that,"
Menerima kemiskinan adalah menerima kekalahan. Hanya orang miskin yang bisa dibeli dan perdagangkan, karena harganya rendah. Kredo ini adalah refleksi keinginan jadi orang kaya yang ditahan karena terlanjur jadi pegawai negeri. Ketidak mampuan mengontrol diri memang merusak, tapi kalau upaya pengekangan ini diterapkan di negara, negara amburadul. Hal ini mustahil diterapkan dalam organisasi yang besar. Tidak mungkin menjadikan semua orang mampu menahan diri. Kalau semua orang bisa menahan diri, kita tidak didunia lagi.
Penyebab dari ini semua adalah sudut pandang bahwa pegawai negeri adalah status, bukan profesi. Status yang mengunci perkembangan pada jabatan dan posisi. Akibatnya, ukuran kerja adalah penempatan, bukan apa yang dikerjakan. Ukuran keberhasilan adalah jabatan bukan prestasi. Ini juga yang membuat pegawai negeri tidak punya harga. Inilah yang membuat pegawai negeri bisa dibeli. Inilah juga yang membuat kebijakan negara tidak punya karakter. Tergantung tawaran dan siapa yang menawar.
Kalau pegawai negeri punya harga diri, menerima gaji yang pantas diterimanya, bukan jatah yang pintar goblok dibagi rata, kita bisa harapkan organisasi pemerintahan yang profesional. Pegawai negeripun punya harapan untuk jadi kaya dengah bekerja lebih baik. Kita akan melihat orang-orang berusaha bekerja lebih baik, bukan berupaya menjadi penjilat yang lebih baik. Itulah saat para hipokrit masuk tong sampah, dan penghormatan pada pimpinan adalah suatu kepantasan.
Hal yang telah menggangguku beberapa waktu belakangan terkait amburadulnya negara dan syak pembelian pengatur negara adalah kasus pengaturan impor, yang paling hangat bawang dan sapi. Kalaupun ada kesamaan objek, tapi pembicaraanku ini tidak ada hubungan sama sekali dengan masalah tetek bengek kepartaian atau politik. Tai kucing itu semua.
Sebaiknya ku mulai dari cerita tentang sapi yamg membuat ku marah. Sebenarnya bukan sapinya yang mengganggu, tapi pengatur sapinya yang tidak ku suka.
Saat ramai-ramainya gosip tangkap tangan suap daging sapi, termasuk pembelian daging mahasiswa seharga sepuluh juta dari uang itu, om dan tente di DPR memanggil bos di depdag untuk memberikan keterangan. Dalam sandiwara ramah tamah tersebut, terlontarlah ungkapan dari pak Dirjen Daglu yang mengatakan bahwa tata niaga impor sapi tidak memungkinkan adanya kartel. Dia mengungkapkan bahwa ada banyak importir (58), sehingga tidak mungkin ada kartel. Membaca liputan sandiwara ini aku tertawa sendiri. "Kalau saja Ram Punjabi cukup pintar, dah main sinetron nih babe", ku pikir. Pak dirjen menungkapkan hal yang benar, ada banyak importir. Sayang, seribu sayang dia tidak mengungkapkan ada berapa pemiliknya. Lalu dia juga tidak mengungkapkan ada berapa yang dia kenal. Mungkin secara formal dia tidak tau sehingga ketahuannya harus ditutupi dengan pura-pura tidak tahu. Bagaimanapun aku yakin pak dirjen ini orang pintar. Tidak mungkin dia jadi dirjen kalau tidak pintar. Sungguh lebih sayang lagi, bahwa om dan tante di DPR cuma main sandiwara sehingga pak dirjen tak perlu mengungkapkan pengetahuannya yang luas tentang praktek perdagangan sapi ini. Sapi, sapi!
Melihat permainan peran om tante dan pak dirjen di DPR," This is just a crock of shit!" pikirku.
Kartel tidak selalu harus ada diatas kertas. Mereka disebut kartel karena mereka seperti kentut. Tidak harus terlihat, tapi kalau baunya ada kita bisa yakin bahwa kentutnya ada. Kartel hidup dari uang keuntungan, dan mereka berusaha membuat keuntungan itu ada. Kebijakan impor sapi ini memunkinkan adanya keuntungan besar dari selisih harga dalam negeri dan harga pasar dunia. Ini adalah uang nganggur yang departemen perdagangan dapat membagi-bainya. Baunya ada, kentutnya juga pasti ada. Atau jangan-jangan mulut para pembuat kebijakan itu yang bau kentut...
Harga daging ditentukan permintaan dan penawaran. Saat pasokan dari produksi dalam negeri tidak cukup, pasar mengharapkan tambahan dari impor agar harga tidak naik. Kalau jumlah impor ditekan, permintaan akan membuat harga naik. Oleh karenanya pembatasan jumlah impor akan membuat harga dalam negeri lebih tinggi dari harga internasional. Latar belakang dari kebijakan pembatasan impor ini adalah memberikan insentif untuk produksi dalam negeri. Insentif bagi peternak adalah meningkatnya harga daging. Dengan kata lain, harga daing sapi memang diharapkan untuk naik.
Efek kuota terhadap kenaikan harga ini identik dengan efek pengenaan bea masuk terhadap barang impor. Bea masuk mengatur harga sehingga mepengaruhi jumlah barang beredar, kuota mengatur jumlah barang beredar sehingga mempengaruhi harga barang. Kalau dibalik, kita dapat mengkalkulasikan padanan tarif pada kuota. Dalam liputan Antara saat wawancara dengan direktur Rajawali Nusantara Indonesia harga daging sapi di pasar internasional adalah dikisaran Rp30,000.- dan harga domestik Rp90,000.-
Dari sini, dapat kita tarifikasi kuota impor daging saat ini adalah sekitar 200%. Wow.. fantastis. Impor daging indonesia tahun 2012 adalah 40,3 ribu ton (detik finance). Anggaplah keuntungan pengecer 10 ribu per kilo, harga importir akan menjadi Rp80,000.-, sehingga untuk tiap kilo ada Rp50,000 keuntungan. Total keuntungan di bisnis ini akan menjadi 40,3 ribu ton kali Rp50,000 perkilogram, atau Rp2,015,000,000,000.-.(dua trilyun lima belas milyar).
Beda pembatasan impor dan bea masuk adalah, Bea Masuk menghasilkan pemasukan ke kas negara, sedang kuota, keuntungan didapat siapa yang mendapat jatah mengimpor. Dalam kata lain, pemerintah membagi-bagikan uang dua trilyun yang seharusnya masuk ke kas negara dengan pembatasan impor seperti ini. Dapat diyakini bahwa kalaupun tidak ada kartel, kartel itu akan terbentuk. Terlebih lagi pemerintah membagi-bagikan kuota impor secara percuma.
Dua trilyun cuy!!!! Dan patut dicatat disini bahwa keuntungan ini adalah economic rent, bukan keuntungan dari efisiensi atau kerja atau produksi anda. Ini uang nganggur yang siap dibagi-bagi. Kalau saja ada tempat belanja untuk Malaikat, mungkin merekapun akan tergiur ikut, apalagi cuma manusia biasa. dapat dilihat bahwa suap sekian milyar yang dihebohkan itu, hanyalah secuil dari uang yang mungkin beredar. Kalau orang yang diberikan kekuatan membagi-bagikan uang dua trilyun mau minta 70, 80, 90 persen pun orang masih mau. daripada keran impor dibuka loss, harga dalam negeri sama dengan di pasar internasional dan uang nganggur ini nol.
Lalu, kalau masih ingin mendorong peningkatan produksi daging, apakah tidak ada cara membuat uang ini dapat masuk ke negara dan dapat didistribusikan lagi untuk mengurangi keruaian konsumen karena harga daging yang mahal. Jawabnya ada. Jual kuota impor itu pada importir. Harga kuota impor ini setidaknya adalah seharga keuntungan ini, dua trilyun. Caranya bisa dengan lelang.
Berbicara tentang lelang, terlihat lagi akal-akalan di kementerian perjual-belian melelang kuota danging ini. Mungkin sekilas ini dibikin untuk memberikan efek menenangkan. Kuota sudah dilelang, keuntungan sudah diberikan pada negara atau dikembalikan ke masyarakat. Dasar Sapi! Semua hanya sandiwara.
Pelelangan yang dilakukan pemerintah adalah pelelangan untuk menjual dengan harga terendah. Siapa yang mampu mengajukan penawaran menjual dengan harga terendah, dia dapat mengimpor daging. ada beberapa kelemahan proses ini; pertama proses ini tidak mengambil economic rent dari importir, hanya berusaha menekan. Hukum fisika, apapun yang ditekan akan menekan balik. Sepanjang pengetahuanku, importir itu kenal satu sama lain. Terlebih lagi hanya ada 58 perusahaan. Rasanya untuk koordinasi dengan lima puluh delapan orang ini untuk menjaga harga tetap tinggi, pulsa seratus ribu masih cukup. Kalaupun harga ditingkat importir dapat ditahan, harga pasar tidak ditentukan harga importir, tapi permintaan. Walaupun importir menjual dengan harga rendah, kalau jumlahnya kurang, harganya tetap tinggi. Jadi lelang ini hanya memindahkan siapa yang menerima, importir atau orang setelahnya (kalau kontrol dapat dilakukan, dan ini tanda tanya besar). Mengingat importir punya dana, pasti mereka tidak akan mau uangnya diambil orang lain. mereka akan menambah mata rantai perdagangan. Hasilnya sama saja.
Berikutnya, terkait asal isu kebijakan ini, keinginan pemerintah swasembada daging. Petanyaannya apakah itu adalah pekerjaan yang paling menguntungkan untuk dilakukan petani. Apakah produktifitas petani maksimal kalau Indonesia swasembada daging. Kalau petani dapat menghasilkan uang lebih dari melakukan pekerjaan lain, dan uang itu dapat dipergunakan untuk membeli daging yang murah dan sisanya untuk meningkatkan kesejahteraan, bukankah lebih efisien kita mengimpor daging. Bukankah tidak semua oran harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Kenapa selalu menutup diri, padahal kesempatan dengan membuka diri lebih banyak.
Dapat dipastikan bahwa pemimpin Indonesia saat ini pasti telah mengetahui semua ini. Tidak mungkin mereka tidak tau, presiden kita doktor ekonomi pembangunan, wakilnya professor makro ekonomi. Mentreri perdagangan lulusan Harvard, pak menteri pertanian profesor Dr. Ir. Sungguh kualat kalau kubilang mereka sampai tidak tau. Lalu kenapa ini terjadi. Mungkin karena mereka punya mental pegawai negeri. Mereka masih merasa miskin. Mungkin mereka tidak memperkaya diri, tapi mereka bisa dibeli.
Ku tutup sajalah dahulu dengan lagu Serieus, masalah bawang lain kali sajalah diteruskan. "jangan kalian menyangka aku tak pernah terluka, tegar bagaikan karang, tabu nerima cucuran dana, kadang ku rasa lelah harus tampil sempurna.. ingin ku teriakkkkaaaaaaannn...... Pejabat juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan orang suciiiii........................".
Konsep bahwa kalau ingin kaya jangan jadi pegawai negeri inilah yang membuat negara ini salah urus. Ini jugalah yang membuat korupsi meraja lela. Hal ini pula yang membuat negara berpihak pada orang kaya. Inilah yang membuat orang-orang pintar yang masuk pemerintahan adi tolol, orang baik jadi brengsek. orang alim pun jadi koruptor. Alasannya? Jiwanya telah diamputasi dan
"There is nothing like a sight of amputated spirit, there is no prosthetic for that,"
Menerima kemiskinan adalah menerima kekalahan. Hanya orang miskin yang bisa dibeli dan perdagangkan, karena harganya rendah. Kredo ini adalah refleksi keinginan jadi orang kaya yang ditahan karena terlanjur jadi pegawai negeri. Ketidak mampuan mengontrol diri memang merusak, tapi kalau upaya pengekangan ini diterapkan di negara, negara amburadul. Hal ini mustahil diterapkan dalam organisasi yang besar. Tidak mungkin menjadikan semua orang mampu menahan diri. Kalau semua orang bisa menahan diri, kita tidak didunia lagi.
Penyebab dari ini semua adalah sudut pandang bahwa pegawai negeri adalah status, bukan profesi. Status yang mengunci perkembangan pada jabatan dan posisi. Akibatnya, ukuran kerja adalah penempatan, bukan apa yang dikerjakan. Ukuran keberhasilan adalah jabatan bukan prestasi. Ini juga yang membuat pegawai negeri tidak punya harga. Inilah yang membuat pegawai negeri bisa dibeli. Inilah juga yang membuat kebijakan negara tidak punya karakter. Tergantung tawaran dan siapa yang menawar.
Kalau pegawai negeri punya harga diri, menerima gaji yang pantas diterimanya, bukan jatah yang pintar goblok dibagi rata, kita bisa harapkan organisasi pemerintahan yang profesional. Pegawai negeripun punya harapan untuk jadi kaya dengah bekerja lebih baik. Kita akan melihat orang-orang berusaha bekerja lebih baik, bukan berupaya menjadi penjilat yang lebih baik. Itulah saat para hipokrit masuk tong sampah, dan penghormatan pada pimpinan adalah suatu kepantasan.
Hal yang telah menggangguku beberapa waktu belakangan terkait amburadulnya negara dan syak pembelian pengatur negara adalah kasus pengaturan impor, yang paling hangat bawang dan sapi. Kalaupun ada kesamaan objek, tapi pembicaraanku ini tidak ada hubungan sama sekali dengan masalah tetek bengek kepartaian atau politik. Tai kucing itu semua.
Sebaiknya ku mulai dari cerita tentang sapi yamg membuat ku marah. Sebenarnya bukan sapinya yang mengganggu, tapi pengatur sapinya yang tidak ku suka.
Saat ramai-ramainya gosip tangkap tangan suap daging sapi, termasuk pembelian daging mahasiswa seharga sepuluh juta dari uang itu, om dan tente di DPR memanggil bos di depdag untuk memberikan keterangan. Dalam sandiwara ramah tamah tersebut, terlontarlah ungkapan dari pak Dirjen Daglu yang mengatakan bahwa tata niaga impor sapi tidak memungkinkan adanya kartel. Dia mengungkapkan bahwa ada banyak importir (58), sehingga tidak mungkin ada kartel. Membaca liputan sandiwara ini aku tertawa sendiri. "Kalau saja Ram Punjabi cukup pintar, dah main sinetron nih babe", ku pikir. Pak dirjen menungkapkan hal yang benar, ada banyak importir. Sayang, seribu sayang dia tidak mengungkapkan ada berapa pemiliknya. Lalu dia juga tidak mengungkapkan ada berapa yang dia kenal. Mungkin secara formal dia tidak tau sehingga ketahuannya harus ditutupi dengan pura-pura tidak tahu. Bagaimanapun aku yakin pak dirjen ini orang pintar. Tidak mungkin dia jadi dirjen kalau tidak pintar. Sungguh lebih sayang lagi, bahwa om dan tante di DPR cuma main sandiwara sehingga pak dirjen tak perlu mengungkapkan pengetahuannya yang luas tentang praktek perdagangan sapi ini. Sapi, sapi!
Melihat permainan peran om tante dan pak dirjen di DPR," This is just a crock of shit!" pikirku.
Kartel tidak selalu harus ada diatas kertas. Mereka disebut kartel karena mereka seperti kentut. Tidak harus terlihat, tapi kalau baunya ada kita bisa yakin bahwa kentutnya ada. Kartel hidup dari uang keuntungan, dan mereka berusaha membuat keuntungan itu ada. Kebijakan impor sapi ini memunkinkan adanya keuntungan besar dari selisih harga dalam negeri dan harga pasar dunia. Ini adalah uang nganggur yang departemen perdagangan dapat membagi-bainya. Baunya ada, kentutnya juga pasti ada. Atau jangan-jangan mulut para pembuat kebijakan itu yang bau kentut...
Harga daging ditentukan permintaan dan penawaran. Saat pasokan dari produksi dalam negeri tidak cukup, pasar mengharapkan tambahan dari impor agar harga tidak naik. Kalau jumlah impor ditekan, permintaan akan membuat harga naik. Oleh karenanya pembatasan jumlah impor akan membuat harga dalam negeri lebih tinggi dari harga internasional. Latar belakang dari kebijakan pembatasan impor ini adalah memberikan insentif untuk produksi dalam negeri. Insentif bagi peternak adalah meningkatnya harga daging. Dengan kata lain, harga daing sapi memang diharapkan untuk naik.
Efek kuota terhadap kenaikan harga ini identik dengan efek pengenaan bea masuk terhadap barang impor. Bea masuk mengatur harga sehingga mepengaruhi jumlah barang beredar, kuota mengatur jumlah barang beredar sehingga mempengaruhi harga barang. Kalau dibalik, kita dapat mengkalkulasikan padanan tarif pada kuota. Dalam liputan Antara saat wawancara dengan direktur Rajawali Nusantara Indonesia harga daging sapi di pasar internasional adalah dikisaran Rp30,000.- dan harga domestik Rp90,000.-
Dari sini, dapat kita tarifikasi kuota impor daging saat ini adalah sekitar 200%. Wow.. fantastis. Impor daging indonesia tahun 2012 adalah 40,3 ribu ton (detik finance). Anggaplah keuntungan pengecer 10 ribu per kilo, harga importir akan menjadi Rp80,000.-, sehingga untuk tiap kilo ada Rp50,000 keuntungan. Total keuntungan di bisnis ini akan menjadi 40,3 ribu ton kali Rp50,000 perkilogram, atau Rp2,015,000,000,000.-.(dua trilyun lima belas milyar).
Beda pembatasan impor dan bea masuk adalah, Bea Masuk menghasilkan pemasukan ke kas negara, sedang kuota, keuntungan didapat siapa yang mendapat jatah mengimpor. Dalam kata lain, pemerintah membagi-bagikan uang dua trilyun yang seharusnya masuk ke kas negara dengan pembatasan impor seperti ini. Dapat diyakini bahwa kalaupun tidak ada kartel, kartel itu akan terbentuk. Terlebih lagi pemerintah membagi-bagikan kuota impor secara percuma.
Dua trilyun cuy!!!! Dan patut dicatat disini bahwa keuntungan ini adalah economic rent, bukan keuntungan dari efisiensi atau kerja atau produksi anda. Ini uang nganggur yang siap dibagi-bagi. Kalau saja ada tempat belanja untuk Malaikat, mungkin merekapun akan tergiur ikut, apalagi cuma manusia biasa. dapat dilihat bahwa suap sekian milyar yang dihebohkan itu, hanyalah secuil dari uang yang mungkin beredar. Kalau orang yang diberikan kekuatan membagi-bagikan uang dua trilyun mau minta 70, 80, 90 persen pun orang masih mau. daripada keran impor dibuka loss, harga dalam negeri sama dengan di pasar internasional dan uang nganggur ini nol.
Lalu, kalau masih ingin mendorong peningkatan produksi daging, apakah tidak ada cara membuat uang ini dapat masuk ke negara dan dapat didistribusikan lagi untuk mengurangi keruaian konsumen karena harga daging yang mahal. Jawabnya ada. Jual kuota impor itu pada importir. Harga kuota impor ini setidaknya adalah seharga keuntungan ini, dua trilyun. Caranya bisa dengan lelang.
Berbicara tentang lelang, terlihat lagi akal-akalan di kementerian perjual-belian melelang kuota danging ini. Mungkin sekilas ini dibikin untuk memberikan efek menenangkan. Kuota sudah dilelang, keuntungan sudah diberikan pada negara atau dikembalikan ke masyarakat. Dasar Sapi! Semua hanya sandiwara.
Pelelangan yang dilakukan pemerintah adalah pelelangan untuk menjual dengan harga terendah. Siapa yang mampu mengajukan penawaran menjual dengan harga terendah, dia dapat mengimpor daging. ada beberapa kelemahan proses ini; pertama proses ini tidak mengambil economic rent dari importir, hanya berusaha menekan. Hukum fisika, apapun yang ditekan akan menekan balik. Sepanjang pengetahuanku, importir itu kenal satu sama lain. Terlebih lagi hanya ada 58 perusahaan. Rasanya untuk koordinasi dengan lima puluh delapan orang ini untuk menjaga harga tetap tinggi, pulsa seratus ribu masih cukup. Kalaupun harga ditingkat importir dapat ditahan, harga pasar tidak ditentukan harga importir, tapi permintaan. Walaupun importir menjual dengan harga rendah, kalau jumlahnya kurang, harganya tetap tinggi. Jadi lelang ini hanya memindahkan siapa yang menerima, importir atau orang setelahnya (kalau kontrol dapat dilakukan, dan ini tanda tanya besar). Mengingat importir punya dana, pasti mereka tidak akan mau uangnya diambil orang lain. mereka akan menambah mata rantai perdagangan. Hasilnya sama saja.
Berikutnya, terkait asal isu kebijakan ini, keinginan pemerintah swasembada daging. Petanyaannya apakah itu adalah pekerjaan yang paling menguntungkan untuk dilakukan petani. Apakah produktifitas petani maksimal kalau Indonesia swasembada daging. Kalau petani dapat menghasilkan uang lebih dari melakukan pekerjaan lain, dan uang itu dapat dipergunakan untuk membeli daging yang murah dan sisanya untuk meningkatkan kesejahteraan, bukankah lebih efisien kita mengimpor daging. Bukankah tidak semua oran harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Kenapa selalu menutup diri, padahal kesempatan dengan membuka diri lebih banyak.
Dapat dipastikan bahwa pemimpin Indonesia saat ini pasti telah mengetahui semua ini. Tidak mungkin mereka tidak tau, presiden kita doktor ekonomi pembangunan, wakilnya professor makro ekonomi. Mentreri perdagangan lulusan Harvard, pak menteri pertanian profesor Dr. Ir. Sungguh kualat kalau kubilang mereka sampai tidak tau. Lalu kenapa ini terjadi. Mungkin karena mereka punya mental pegawai negeri. Mereka masih merasa miskin. Mungkin mereka tidak memperkaya diri, tapi mereka bisa dibeli.
Ku tutup sajalah dahulu dengan lagu Serieus, masalah bawang lain kali sajalah diteruskan. "jangan kalian menyangka aku tak pernah terluka, tegar bagaikan karang, tabu nerima cucuran dana, kadang ku rasa lelah harus tampil sempurna.. ingin ku teriakkkkaaaaaaannn...... Pejabat juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan orang suciiiii........................".
Comments
Post a Comment