Saat dekat-dekat bulan Mei, isu ini sering menjadi pembicaraan hangat. Saat May-Day, teriakan UMR, UMP atau apalah namanya gaji minimal ini, dia jadi isu sentral SPSI, TiVi sampai LSM gono gini. Kalau ditimbang-timbang, hampir tidak ada habisnya urusan ini. Kata orang, namanya juga soal periuk nasi, mau bilang apa lagi.
Saban waktu, saat Jokowi menaikkan UMR lebih dari 40persen, banyak pengusaha protas-protes, katanya kalau begitu mereka tidak sanggup lagi berusaha. Pak Sofyan Wanandi sampai tampil di TiVi berkali-kali, mewakili pengusaha Indonesia katanya.
Setelah Jokowi dan Basuki bertahan menaikkan, banyak yang memuji, banyak juga yang mencibiri. Ada yang bilang bagus, ada yang menyerang. Ahok kurang lebih bilang,"mana bisa hidup di Jakarta dengan kurang dari dua juta". Yang lain menyerang, "ini ekspor udah kurang-kurang, Rupiah mulai goyang-goyang, Jokowi harusnya lebih banyak menimbang", Kurang lebih. Entah mana yang benar, entahlan, mana kita tau, hanya yang maha kuasa dan mereka yang tau apa niat manusia.
Tidak berapa lama senang, kembali terdengar keluh kesah pekerja. Lewat demo dan gerakannya mereka meminta UMR dinaikkan jadi empat juta. Jokowi bilang belum saatnya, pengusaha bilang tidak make sense. Pertanyaannya, "bagaimana sih sebenarnya, seharusnya gaji ini bagaimana?"
Kalau kita pulangkan pertanyaan ini pada pemikiran Mbah Smith dari Scotlandia, pada pasar yang sehat, gaji dan produktifitas adalah sepadan karena mereka adalah bagian dari kesetimbangang pasar persaingan sempurna. Sehingga, berapapun gajinya, pada dasarnya adalah cerminan produktifitas pekerjanya. Akan tetapi, pasar yang sempurna itu hampir-hampir tidak ada. Salahsatu ketidak seimbangan itu adalah pada pemilikan harta modal usaha. Karena sedikit-nya modal suatu negara, pekerjaan jadi susah di sana. Karena sedikitnya pemilik modal usaha, mereka menguasai banyak harta sampai mereka bisa berbuat sesukanya. Intinya ada ketida seimbangan pada pasar tenaga kerja. Pada hal ini Ricardo, memberikan peringatan bahwa ketidak seimbangan menimbulkan rente. Tapi tidak sebatas itu saja, dia juga menunjukkan adakalanya campur tangan yang berkuasa adalah untuk keuntungannya saja.
Keynes yang kenes pada dinamika ekonomi negara, setuju dengan Ricardo, tapi dia menambahkan ide tentang kemakroan ekonomi. Pemerintah dalam berkuasa harus mempertimbangkan totalitas ekonomi negara, jangan hanya melihat dinamika mikro ekonomi saja. Walau gaji adalah cerminan produktifitas dalam dalam keseimbangan rata-rata. Ada orang yang memiliki produktifitas tinggi, tetapi karena tertarik oleh kerata-rataan ini bayarannya jadi lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Seterusnya, tingkat gaji dibentuk pula oleh kesetimbangan orang yang butuh kerja dan pekerja yang dibutuhkan ekonomi suatu negara.
Dikembalikan ke kondisi Indonesia, ada begitu banyak kepala yang tidak bekerja ketika jumlah pekerja yang dibutuhkan terbatas jumlahnya. Diatasnya ditambah pula keadaan minimnya harta untuk modal usaha, sehingga agar dapat kerja, banyak orang rela dibayar seadanya. Situasi banyaknya orang yang tidak bekerja ini membuat tenaga kerja rendah nilainya. Akibatnya pemilik harta modal usaha bisa menggaji orang seenaknya. Kalau tak karyawan yang ini toh masih banyak orang lain yang rela menggantikan pikir mereka. Atas dasar kemanusiaan, untuk menjamin orang yang bekerja dapat hidup selayaknya pemerintah perlu membuat batasan minimal orang itu digaji berapa.
Efek dari kerja ekonomi selalu bermata dua, keseimbangan Pareto istilahnya. Selain menjamin orang tidak digaji terlalu rendah, sayangnya penggunaan gaji minimal ini membuat orang yang bisa ditanggung bekerja berkurang jumlahnya. Menggunakan logika makro Keynes, jumlah beban gaji yang dapat ditanggung ekonomi negara tetap. Kalau gajinya diatur tinggi, berarti ada yang tidak dapat jatahnya. Kalau menggunakan keseimbangan harga tenaga dan modal kerja, ketika tenaga manusia naik harganya, pengusaha dapat menanggung beban membayar lebih untuk modal usaha. Dengan membeli alat yang lebih bagus misalnya, pengusaha dapat meningkatkan produktifitas karyawannya sehingga setara dengan gajinya. logika mana yang dipakai, sama saja hasilnya. karena naik batas gajinya, ada orang yang jadi tidak bekerja. Tapi hal ini bukan karena pengusaha gulung tikar menutup usahanya, jangan terlalu percaya pada Sofyan Wanandi, tapi karena pergeseran pola kerja.
Ada tiga pokok kunci utama untuk menggeser perekonomian sesuai skenario ini. Mereka adalah perdagangan, manusia, dan modal. Hebatnya perniagaan terletak pada nilai relatif barang, seperti diperkenalkan Ricardo, dimana perbedaan comparative advantage dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup pihak-pihak tanpa meningkatkan produktivitas ril. Seperti energi listrik yang terjadi akibat adanya perbedaan kutub, perbedaan keadaan pihak-pihak dapat membawa tambahan utilitas bagi yang terlibat perniagaan karena perbedaan kemampuan menghasilkan barang. Atas dasar konsep ini, taraf kehidupan bisa ditingkatkan dengan dagang dan meningkatkan porsi kegiatan berproduktifitas tinggi. Bidangnya bisa apa saja, baik itu industri, service atau pertanian moderen (bukan pertanian modal tangan dan kaki) selama produktifitas-nya lebih tinggi. Untuk mendukung hal ini perlu manusia yang dapat digaji tinggi, yaitu orang yang terlatih dan terdidik baik. Terakhir, ekonomi bisa jalan kalau ada modal (apakah itu uang atau teknologi. Pemerintah punya tugas mencipatakan kondisi yang bisa menciptakan ketiga modal ekonomi ini. Caranya bisa dengan mengundang investor, membuang masalah efisiensi (menambah infrastruktur), melancarkan arus uang dan barang (meminimalkan birokrasi), dan melancarkan pekerjaan pemerintah sendiri agar lebih efektif (melumasi birokrasi).
Harus diakui melakukan semua ini bukan hal mudah. Ada banyak keadaan diluar sana yang dapat menggagalkan tindakan yang diniatkan. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan masalah yang membuat asumsi para empu ekonomi ini tidak berjalan. Untuk itu tidak ada masalahnya kalau pemerintah punya jalan sendiri, tetapi paling tidak, jalan itu diambil dengan logika yang jujur pada fakta dan bersih dari memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan sendiri.
Memang mudah bicara sok tinggi seperti ini, apa lagi kalau caranya hanya main-main begini. Susah memang mengatur negeri, apalagi negeri sendiri, karena sudah terbiasa dengan kondisi sejak dini. Namun begitu, adalah suatu keharusan bahwa tekad adalah untuk maju. Untuk itu, setiap pemimpin harus tahu arah mana yang dituju. Entah benar apa yang ku ucap ini entah sekedar racauan gagu, ku hanya menarik garis dari berbagai logika yang ku tau, mudah-mudahan membantu.
Comments
Post a Comment