Bukan Hokusai-nya jepang, tapi Hokusai yang di halaman. Yang sering menemati cerita menunggu sore, menemati malam menunggu pagi, menemani pagi menunggu sore. Hokusai yang cantik tenang berputar ke kiri, membelok kek kanan, tidak bersuara, hanya bergerak sesukanya, mencoba mengimbangi tenang dan alun senyummu menghidupiku. Bukan Hokusai yang menggambar laut dan gunung yang merasuk ke relung jiwa, yang menenggelamkan, Hokusai di halaman cuma hidup menunggu kita pulang. Ya, Hokusai ini adalah rumah, adalah halaman, relik kenangan. Ini hokusai yang biasa kita pandang di halaman. Ini hokusai yang hidup bersama kenangan, kini pergi meninggalkan kenangan, menghidupkan kembali kerinduan. Me, Hokusai pulang ke Ummi, Be cuma titip salam, menengok dari jendela.
Hokusai berpulang, dilompatinya air untuk mencari kehidupan, dan dia mati kekeringan. Dia tidak mati bunuh diri, dia tidak melarikan diri, dia berjuang untuk hidup dan kalau dia mati, untung saja yang menari. Abi sehat, jalan masih panjang, anak-anak baru permulaan, Abi rindu, tapi masih tahan beribu-ribu malam mencumbu rindu. Ummi tunggu.. haha..
Sana Hokusai, Temani ummi, ganggu dia, percakkan air ke mukanya, agar tersenyum juga dia di sana. Sana Hokusai, tidak ku tahu seperti apa kolammu di sana, tapi jangan lupa, cari ummi. Alun waktunya menungguku, agar dia tidak jemu. Disana dia sendiri, disini kami bersama, ada tangis dan tawa anak-anak perintangku. Di mati, waktu abadi, pasti dia akan sepi kalau tidak diganggu. Titip salam, rindu.
Comments
Post a Comment