Sebelum mati, jarak antara mati dan hidup semu. Ketika semua baik-baik dan mati yang ada tidak menyentuh rasa, beda hidup dan mati tiada perlu penjelasan, tidak butuh penjelasan, tidak berkehendak pada pengertian. Tetapi seketika mati terasa dekat dan menyentuh rasa, dia mewujud jadi ada, being, (dasein); berasa dan nyata. Mati yang telah menyeruak jiwa hidup, dia berdetak, bergerak, membangun citra bahkan berkehendak. Demikianlah matinya orang dekat bisa sesuka-maunya menjadi monster, penjajah, penguasa bahkan tuhan. Mati kekasih adalah raksasa perusak, buto perusak jiwa, eksistensinya signifikan dan hadirnya butuh deskripsi. Selalu dipenuhinya otak dengan teriak meminta pemahaman, menuntut kontemplasi dan menggasak perenungan. Kalau tidak dituruti, dimakannya jiwa, semili, sesenti, sehasta, hingga yang tersisa hanya amarah dan gundah.
Setahun setengah menekuri gundah dan amarah, tidak dapat dipahami apa itu mati jika hidup tidak dimengerti. Hidup itu dijalani, ditempati, memiliki ruang dan waktu untuk dimasukkan sebagai objek kontemplasi sehingga cukup diam untuk diamati dan seharusnya memungkinkan untuk dimengerti. Mati adalah pergeseran dari hidup ke tidak, waktunya nisbi dan setelahnya tiada lagi waktu memikirkan dan merumuskan keadaan matinya itu sehingga lebih sulit harusnya.
Untuk mereka yang menjalani mati, mati dan hidup tiada lagi berarti. begitu mati datang, urgensi apapun berhenti. Namun buat yang ditinggalkan hidup oleh matinya orang tersayang, pertanyaan dan kenyataan hidup dan mati menjadi urgen untuk dimengerti. Kehilangan pegangan hidup, mati memaksa.
Comments
Post a Comment